INDOZONE.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, pembelajaran mesin telah membawa revolusi besar dalam berbagai sektor, termasuk dalam deteksi penipuan keuangan.
Teknologi ini telah menjadi alat yang sangat efektif, untuk melindungi institusi keuangan dari berbagai bentuk penipuan yang makin canggih.
Berikut adalah bagaimana pembelajaran mesin telah mengubah cara deteksi penipuan dilakukan:
Pembelajaran mesin memungkinkan analisis data dalam jumlah besar dengan cepat dan akurat. Dalam konteks deteksi penipuan, ini berarti algoritma dapat memproses data transaksi dalam skala yang sangat besar untuk mengidentifikasi pola-pola yang mencurigakan.
Misalnya, algoritma dapat menganalisis ribuan transaksi per detik untuk mendeteksi aktivitas yang tidak biasa atau pola transaksi yang tidak sesuai dengan kebiasaan pelanggan.
Baca Juga: Kenali Tren Terbaru dalam Teknologi Blockchain: Dari Keuangan hingga Keamanan Data
Pembelajaran mesin menggunakan dua pendekatan utama dalam deteksi penipuan, yaitu supervised learning dan unsupervised learning.
Algoritma ini dilatih menggunakan data yang telah dikategorikan sebagai 'penipuan' atau 'bukan penipuan'. Dengan demikian, sistem dapat belajar dari data historis dan mengenali pola yang menunjukkan penipuan.
Dalam kasus saat data historis tidak cukup atau tidak tersedia, unsupervised learning digunakan untuk menemukan pola atau anomali tanpa label data sebelumnya. Ini sangat berguna untuk mendeteksi jenis penipuan yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Teknik deteksi anomali dalam pembelajaran mesin memungkinkan identifikasi aktivitas berbeda dari pola normal, yang bisa menandakan adanya penipuan.
Jaringan neural, khususnya deep learning, digunakan untuk model yang lebih kompleks dan mendalam. Itu memberikan kemampuan deteksi yang lebih akurat dan presisi.
Baca Juga: 5 Aplikasi Pinjaman Online yang Dilindungi OJK: Pilih yang Tepat untuk Keuangan Anda!
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Forbes, Harvard Business Review, TechCrunch