Mantan bos Playstation, Shwan Layden. (Gamescom)
INDOZONE.ID - Dalam industri game yang dinamis dan berkembang sangat pesat saat ini, peran perusahaan game indie (AA), yang dulunya merupakan bagian penting dari ekosistem game, sekarang telah menghadapi tantangan yanbg sulit untuk bisa penetrasi ke pasar game global dan bersaing dengan perusahaan game berskala besar sekelas AAA.
Ditambah lagi dengan segala kompleksitas dan standar yang sangat tinggi dalam mengembangkan game, menjadikan kebanyakan perusahaan game menjadi tumbang.
Karena alih-alih berfokus membuat proyek-proyek game kecil dan simpel, kebanyakan perusahaan game saat ini justru menghabiskan waktu pengembangan bertahun-tahun dan menghabiskan miliaran hingga triliunan rupiah untuk biaya pengembangan dan marketing game-game mereka.
Karena kebanyakan perusahaan game sudah beralih ke model bisnis live service dan mengikuti tren demi mengejar keuntungan finansial semata untuk memuaskan para eksekutif dan investor, daripada berfokus untuk membuat game yang unik, berkualitas, dan menyenangkan untuk dimainkan oleh para gamer.
Baca Juga: 'El Paso, Elsewhere' Sekarang Tersedia di PS5 Melalui PlayStation Store
Hal ini yang dirasakan oleh Shawn Layden, selaku mantan ketua Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios. Dalam diskusinya bersama GamesIndustry.biz pada acara Gamescom Asia di Singapur, Layden mengungkapkan alasan di balik hilangnya studio game indie (AA) dan dampak negatifnya terhadap lanskap kreatif di industri game.
Yang dimana fokus Layden pada saat ia masih memimpin Playstation adalah pada kesenangan dan kreativitas sebuah game agar bisa diberikan lampu hijau, tetapi sekarang, industri game didorong dalam mempertanyakan skema monetisasi, rencana pendapatan berulang, atau formula berlangganan dalam sebuah game.
Ditambah lagi dengan biaya produksi game-game AAA yang membengkak, dan ada kecenderungan dalam membuat game sekuel dan tiruan untuk bersaing mencapai kesuksesan finansial dengan game yang sama. Sehingga resiko yang diambil perusahaan game dalam mengembangkan IP baru lebih rendah dan tingginya biaya produksi, dan hal inilah yang Layden lihat sebagai runtuhnya kreativitas dalam industri game saat ini.
Layden menyatakan keinginannya untuk perusahaan-perusahaan game kembali membuat game-game yang berskala lebih kecil, dengan harapan perusahaan game dapat mempertimbangkan kembali biaya pengembangan game yang terus meningkat. Yang dimana Layden membandingkan lanskap industri game saat ini dengan industri film, yang semuanya adalah film blockbuster atau film indie.
Layden melihat ini sebagai ancaman bagi ekosistem game dan resiko bagi keberagaman industri game, karena jalan tengah antara perusahaan game indie (AA) didorong harus mencapai status AAA atau menciptakan sesuatu yang unik pada skala indie untuk bertahan hidup, sehingga hal inilah yang menyebabkan perusahaan game indie sulit untuk berkembang.
Layden menyatakan minatnya terhadap game-game indie, yang ia lihat sebagai sumber kreativitas dan keunikan yang potensial.
Yang dimana Layden berharap game-game tersebut bisa lebih dikenal dan sukses di pasaran, ia memuji kemajuan teknologi game saat ini seperti Unreal Engine dan Unity, bahkan penggunaan AI (Artificial intelligence) sebagai alat bantu pengembangan game, sudah cukup dalam meningkatkan standar kualitas game jika dibandingkan dengan teknologi 10 tahun yang lalu.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: GamesIndustry.biz