Ilustrasi Hacker. (FREEPIK/primagefactory)
Serangan siber oleh para peretas atau hacker baik di Indonesia maupun luar negeri ternyata memiliki motif finansial alias ujung-ujungnya duit. Hal ini dikatakan langsung oleh Keith Douglas Trippie, Senior Cyber Security and Data Privacy Advisor perusahaan penyedia jasa konsultasi SecLab BDO Indonesia.
"Serangan seringkali didasari motif finansial, sehingga institusi perbankan paling sering menjadi sasaran serangan siber," katanya, dilansir dari Antara.
Baca Juga: Bjorka Muncul Lagi! Sebar Data Kepala BSSN Hinsa Siburian dan Kasih Sindiran Keras
Meski begitu, Douglas Trippie menjelaskan jika ada beberapa kasus peretasan yang memiliki motif berbeda.
"Misalnya state sponsored attack terhadap SolarWinds, atau serangan rantai pasok yang menghantam Quanta, perusahaan yang menyuplai produk ke Apple, bahkan sasaran industrial negara dan sangat penting seperti Colonial Pipeline di Amerika," tutur Trippie.
Diketahui, dampak kerugian akibat serangan siber global diperkirakan mencapai 2 Kuintiliun Dolar AS di awal 2022, meningkat drastis dari tahun 2015.
"Meningkat jauh dari 400 Miliar Dolar AS di tahun 2015, dan kerugian dari ransomware saja bisa mencapai 265 Miliar Dolar AS di tahun 2031. Sudah saatnya perusahaan di Indonesia memperkokoh ketahanan sibernya di tahun ini, dan mempersenjatai diri dengan framework keamanan siber yang jelas agar tidak menjadi korban berikutnya." jelasnya.
Di sisi lain, Harry Adinanta, selaku Cyber Security Director SecLab BDO Indonesia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah melakukan perbaikan, misalnya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), namun masih butuh waktu sampai negara bisa mencapai tingkat kematangan pertahanan siber.
Namun, pesatnya perkembangan teknologi, membuat kejahatan siber lebih gencar dan cepat dibanding berbagai perbaikan.
"Salah satu akar masalahnya adalah ketersediaan tenaga ahli. Inilah mengapa BDO berkomitmen untuk mengembangkan talenta di bidang keamanan siber dan juga berkolaborasi dengan banyak pihak." ujar Harry Adinanta.
Indonesia sendiri mengalami kekurangan tenaga ahli keamanan siber. Survei yang dilakukan oleh SecLab BDO Indonesia terhadap talenta TI di Indonesia mengungkapkan bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi lebih memilih untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber.
Baca Juga: Pornhub Jengkel Akunnya Dihapus Instagram: Munafik dan Diskriminatif
Kekurangan tenaga ahli ini, dipadukan dengan wawasan masyarakat awam yang rendah mengenai keamanan siber pribadi, membuat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi para hacker yang berniat jahat.
So, tetap waspada ya guys!
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: